Minggu, 26 Juni 2011

Tunduk dan Pasrah kepada Allah SWT


       Allah SWT menciptakan manusia dan jin tidak lain untuk beribadah(QS adz-Dzariyat [51]: 56). Ibadah tak lain merupakan ketundukan  dan kepasrahan secara total seorang hamba kepada penciptanya, Allah SWT. Ketundukan dan kepasrahan kepada Allah tentu tidak cukup diekspresikan lewat ibadah-ibadah ritual seperti shalat, tetapi juga harus dibuktikan dalam seluruh pelaksanaan hukum-hukum Allah SWT di luar shalat; baik dalam perkara muamalah (ekonomi, politik, pemerintahan sosial, pendidikan, dll) maupun ‘uqubat (hukum dan peradilan).

        Imam Ja’far ash-Shadiq, sebagaimana dikutip dalam kitab Fath ar-Rabbani wa Faydh arh-Rahmani karya Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, pernah berkata, “Hakikat ubudiah (penghambaan) seseorang terhadap tuannya adalah: ia menyadari bahwa apa yang ada pada dirinya hakikatnya bukanlah miliknya, tetapi milik tuannya; ia tunduk dan patuh tanpa membantah terhadap setiap perintah tuannya; ia tidak membuat aturan apapun selain menerima aturan yang dibuat tuannya untuk dirinya.”

Dengan demikian, ibadah pada dasarnya adalah kepatuhan dan kepasrahan total kepada Zat yang disembah, yakni Allah SWT, dengan selalu menaati seluruh hukum-hukum-Nya.

       Terkait dengan itu, Allah SWT berfirman (yang artinya): Demi Tuhanmu, tidaklah mereka beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim dalam apa saja yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak menemukan di dalam diri mereka satu rasa keberatan pun terhadap apa yang kamu putuskan, dan mereka menerima putusanmu itu dengan sepenuh hati” (TQS an-Nisa’ [4]: 65).

       Ada sejumlah riwayat terkait dengan sababun-nuzul (sebab turunnya) ayat ini. Salah satunya adalah riwayat dari Ummu Salamah, yang menyebutkan bahwa Zubair bin Awwam pernah mengadukan seseorang kepada Baginda Rasulullah SAW dalam suatu perkara. Baginda Rasulullah kemudian mengeluarkan putusan dalam perkara tersebut yang memenangkan Zubair. Orang tersebut dengan nada keberatan lalu berkata, “Engkau memenangkan dia karena dia adalah keponakanmu.” Kemudian turunlah ayat ini (Dikeluarkan oleh Al-Hamidi dalam Musnad-nya, Sa’id bin Manshur, Abdun bin Hamid, Ibn Jarir, Ibn al-Mundzir dan Ibn Hibban dalam al-Kabir).

         Dalam riwayat lain, dalam tafsirnya al-Hafizh menuturkan riwayat dari Utbah bin Dhamrah dari bapaknya, bahwa pernah ada dua orang yang berperkara, yang sama-sama mengadukan perkaranya kepada Baginda Rasulullah SAW. Beliau lalu mengeluarkan putusan hukum atas perkara tersebut yang memenangkan orang yang dipandang benar dan mengalahkan lawannya yang dianggap salah. Namun, orang yang dikalahkan perkaranya berkata, “Aku tidak rela.” Yang memenangkan perkara lalu bertanya, “Lalu apa yang engkau mau?” Ia menjawab, “Kita pergi ke Abu Bakar ash-Shiddiq (untuk meminta putusannya, pen.).” Keduanya lalu menemui Abu Bakar ra. Beliau lalu berkata, “Kalian berdua harus mematuhi putusan Rasulullah SAW.” Namun, pihak yang dikalahkan  menolak dan tetap tidak rela. “Sekarang mari kita menjumpai Umar bin al-Khaththab.” Lalu keduanya menemui Umar ra. Namun, Umar bukan memberikan putusan. Beliau malah masuk ke rumahnya dan keluar kembali dengan membawa pedang di tangannya. Seketika beliau menebaskan pedang itu ke leher orang yang enggan menerima putusan Rasulullah itu. Kemudian turunlah ayat di atas.

        Riwayat senada dituturkan oleh Al-Hakim dan at-Tirmidzi dalam Nawadir al-Ushul dari Makhul. Hanya saja ditambahkan, bahwa setelah membunuh orang munafik yang tidak menerima putusan itu, Umar kemudian berkata, “Begitukah hukuman bagi orang yang tidak rela dengan putusan Rasulullah SAW.” Lalu turunlah Malaikat Jibril kepada Rasulullah sembari memberitahu beliau, “Sesungguhnya Umar telah membunuh orang itu. Allah telah memisahkan kebenaran dan kebatilan melalui lisan Umar.” Karena itulah kemudian Umar disebut dengan al-Faruq (as-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsur fi Ta’wil bi al-Ma’tsur, III/161-162. Lihat pula: Ash-Shabuni, Shafwah at-Tafasir,  I/260-261).

          Jelas, ketundukan secara total terhadap hukum-hukum Allah SWT merupakan bukti hakiki keimanan seorang Muslim. Inilah yang juga diisyaratkan secara tegas oleh Allah SWT dalam firman-Nya (yang artinya): Sesungguhnya ucapan orang-orang Mukmin itu–manakala mereka diseru kepada Allah dan Rasul-Nya untuk menghukumi mereka–adalah ungkapan, ‘Kami mendengar dan kami taat.’ Merekalah orang-orang yang beruntung” (TQS an-Nur [24]: 51).

       Sayangnya, saat ini kaum Muslim berada dalam sistem kapitalis-sekuler dan tidak diatur dengan hukum-hukum Allah SWT. Sistem sekuler, dengan demokrasi sebagai pilar utamanya,  terbukti telah menjauhkan kaum Muslim dari ketundukan terhadap hukum-hukum Allah SWT. Karena itu, mau tidak mau, umat ini harus segera mengenyahkan sistem sekuler dan bersegera menerapkan syariah-Nya dalam seluruh aspek kehidupan, tentu dalam institusi Khilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah. Hanya dengan itulah kaum Muslim bisa benar-benar tunduk dan pasrah secara total kepada Allah SWT.

Meretas Jalan Kebaikan

        Kebaikan adalah apa saja yang dipandang baik oleh Allah SWT dan Rasul-Nya. Keburukan adalah apa saja yang dianggap buruk oleh Allah SWT dan Rasul-Nya. Dengan kata lain, bagi seorang Muslim, standar baik-buruk adalah syariah Islam. Karena itu, dalam Islam: iman itu baik, kufur itu buruk; taat itu baik, maksiat itu buruk; adil itu baik, fasik/zalim itu buruk; beramal shalih itu baik, beramal salah itu buruk; pemurah itu baik, kikir itu buruk; pemaaf itu baik, pendendam itu buruk; pejuang syariah dan Khilafah itu baik, penentangnya itu buruk; jihad itu baik, terorisme itu buruk. Demikian seterusnya. Tentu jika semua itu tolok-ukurnya adalah syariah Islam.

        Dalam Islam, baik pelaku kebaikan ataupun keburukan tentu akan mendapatkan konsekuensi pahala atau dosa. Pelaku kebaikan akan mendapatkan pahala dan surga. Pelaku keburukan akan mendapatkan dosa dan azab neraka. Namun sesungguhnya konsekuensi bagi keduanya bisa lebih dari itu, yakni saat masing-masing menjadi ‘teladan’ atau ‘ikutan’ bagi orang lain. Seorang pelaku kebaikan akan mendapatkan dua pahala: pahala atas perbuatan baik yang ia lakukan dan pahala dari orang yang meneladani atau mengikuti jejak kebaikannya. Demikian pula pelaku keburukan. Ia pun akan mendapatkan dua dosa: dosa atas perbuatan buruk yang ia lakukan dan dosa dari orang yang ‘meneladani’ atau mengikuti jejak keburukannya. Itulah yang ditegaskan oleh Baginda Rasulullah SAW dalam sabda beliau, sebagaimana dituturkan oleh Jarir bin Abdillah (yang artinya), 

Siapa saja yang meretas jalan kebaikan (sunnat[an] hasanat[an]) di dalam Islam, baginya pahala atas perbuatan baiknya itu dan pahala dari orang-orang yang mengikuti jejak kebaikannya itu tanpa mengurangi sedikitpun pahala mereka. Siapa saja yang meretas jalan keburukan (sunnat[an] sayyi’at[an]) di dalam Islam, baginya dosa atas perbuatan buruknya itu dan dosa dari orang-orang yang mengikuti jejak keburukannya itu tanpa mengurangi sedikitpun dosa mereka.” (HR Muslim).

       Maknanya, siapapun yang mempropagandakan kebaikan, baik dengan ucapan atau tindakan, termasuk dengan dukungan, lalu kebaikan  itu dilakukan oleh orang lain maka bagi dirinya dua pahala, sebagaimana dijelaskan di atas. Demikian pula hal sebaliknya (baca: dosa) bagi orang yang mempropagandakan keburukan, baik dengan ucapan atau tindakan, termasuk dengan dukungan (Lihat: Muhammad bin ‘Allan ash-Shiddiqi, Dalil al-Falihin li Thuruq Riyadh ash-Shalihin, I/330).

        Hadits Nabi SAW yang lain, sebagaimana dituturkan oleh Abu Hurairah ra, juga mengungkapkan maksud serupa, yakni saat beliau bersabda (yang artinya), “Siapa saja yang menunjukkan jalan kebaikan, bagi dirinya pahala yang serupa dengan pahala orang-orang yang mengikuti kebaikan itu tanpa mengurangi sedikitpun pahala mereka. Siapa saja yang menunjukkan jalan kesesatan, bagi dirinya dosa yang serupa dengan dosa orang-orang yang mengikuti kesesatan itu tanpa mengurangi sedikitpun dosa mereka.” (HR Muslim).

        Khusus terkait dengan kebaikan, Baginda Rasulullah juga bersabda (yang artinya), “Demi Allah, hidayah Allah yang diberikan kepada seseorang melalui dirimu adalah lebih baik bagi kamu daripada seekor unta merah.” (Mutaffaq ‘alaih).

      Unta merah adalah harta yang paling dibanggakan bangsa Arab saat itu; tidak ada yang lebih berharga dari itu (Muhammad ‘Allan, I/336).

          Baginda Rasulullah SAW juga bersabda (yang artinya), “Siapa saja yang menunjukki orang lain pada kebaikan, bagi dirinya pahala yang serupa dengan orang yang melakukan kebaikan itu.” (HR Muslim).

    Oleh sebagian ulama, hadits-hadits ini dijadikan dalil atas keutamaan berdakwah atau menyampaikan hidayah Islam kepada manusia. Hadits ini juga menunjukkan arti pentingnya mengamalkan atau menyebarluaskan ilmu. Bahkan ilmu yang diamalkan atau disebarluaskan merupakan salah satu amalan yang pahalanya akan terus mengalir kepada pelakunya meski ia telah wafat. Hal ini sebagaimana sabda Baginda Nabi SAW (yang artinya), “Saat anak Adam meninggal, terputus segala (pahala) amalnya, kecuali tiga: sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang selalu mendoakan dirinya.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

        Walhasil, marilah kita berlomba-lomba meretas jalan kebaikan dengan dua cara. Pertama: dengan menyebarluaskan ilmu-ilmu Islam yang kita miliki meski ilmu yang kita miliki baru sedikit. Kedua: dengan berdakwah menyebarluaskan hidayah Islam kepada manusia. Dakwah adalah aktivitas mulia karena merupakan aktivitas para nabi dan rasul Allah SWT. Hanya dengan dakwahlah umat manusia bisa tertunjukki pada hidayah-Nya; pada akidah dan syariah-Nya. Karena itu, marilah kita mendakwahkan Islam walau dengan menyampaikan hanya satu-dua ayat atau satu-dua hadits. Sebab, Baginda Nabi SAW pernah bersabda (yang artinya), “Sampaikanlah dariku walau cuma satu ayat!” (HR al-Bukhari dan Muslim


15 ALASAN MERINDUKAN RAMADHAN


       Seperti seorang kekasih, selalu diharap-harap kedatangannya. Rasanya tak ingin berpisah sekalipun cuma sedetik. Begitulah Ramadhan seperti digambarkan sebuah hadits yang diriwayatkan Ibnu Khuzaimah, "Andaikan tiap hamba mengetahui apa yang ada dalam Ramadhan, maka ia bakal berharap satu tahun itu puasa terus." Sesungguhnya, ada apanya di dalam Ramadhan itu, ikutilah berikut ini:
1. Gelar taqwa
          Taqwa adalah gelar tertinggi yang dapat diraih manusia sebagai hamba Allah. Tidak ada gelar yang lebih muliadan tinggi dari itu. Maka setiap hamba yang telah mampu meraih gelar taqwa, ia dijamin hidupnya di surga dan diberi kemudahan-kemudahan di dunia. Dan puasa adalah sarana untuk mendapatkan gelar taqwa itu.
"Hai orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa." (QS al-Baqarah: 183)
Kemudahan-kemudahan yang diberikan Allah kepada hambanya yang taqwa, antara lain: 
a. Jalan keluar dari semua masalah
             Kemampuan manusia amat terbatas, sementara persoalan yang dihadapi begitu banyak. Mulai dari masalah dirinya, anak, istri, saudara, orang tua, kantor dan sebagainya. Tapi bila orang itu taqwa, Allah akan menunjukkan jalan berbagai persoalan itu. Bagi Allah tidak ada yang sulit, karena Dialah pemilik kehidupan ini.
"..Barangsiapa bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar." (QS. Ath Thalaaq: 2)
"..Dan barang siapa bertaqwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya." (QS. Ath Thalaaq: 4)
b. Dicukupi kebutuhannya
"Dan memberinya rezeki dari arah yang tak disangka-sangkanya. Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya...."(QS. Ath Thalaaq: 3)
c. Ketenangan jiwa, tidak khawatir dan sedih hati
       Bagaimana bisa bersedih hati, bila di dalam dadanya tersimpan Allah. Ia telah menggantungkan segala hidupnya kepada Pemilik kehidupan itu sendiri. Maka orang yang selalu mengingat-ingat Allah, ia bakal memperoleh ketenangan.
"Hai anak-anak Adam, jika datang kepadamu rasul-rasul daripada kamu yang menceritakan kepadamu ayat-ayat-KU, maka barangsiapa bertaqwa dan mengadakan perbaikan, tidaklah ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati." (QS. al-A'raaf: 35)
2. Bulan pengampunan
          Tidak ada manusia tanpa dosa, sebaik apapun dia. Sebaik-baik manusia bukanlah yang tanpa dosa, sebab itu tidak mungkin. Manusia yang baik adalah yang paling sedikit dosanya, lalu bertobat dan bernjanji tidak mengulangi perbuatan dosa itu lagi. Karena dosa manusia itu setumpuk, maka Allah telah menyediakan alat penghapus yang canggih. Itulah puasa pada bulan Ramadhan. Beberapa hadis menyatakan demikian, salah satunya diriwayatkan Bukhari Muslim dan Abu Dawud, "Barangsiapa berpuasa pada bulan Ramadhan karena keimanannya dan karena mengharap ridha Allah, maka dosa-dosa sebelumnya diampuni."
3. Pahalanya dilipatgandakan
      Tidak hanya pengampunan dosa, Allah juga telah menyediakan bonus pahala berlipat-lipat kepada siapapun yang berbuat baik pada bulan mulia ini. Rasulullah bersabda, "Setiap amal anak keturunan Adam dilipatgandakan. Tiap satu kebaikan sepuluh lipad gandanya hingga tujuh ratus lipat gandanya." (HR. Bukhari Muslim).
Bahkan amalan-amalan sunnah yang dikerjakan pada Ramadhan, pahalanya dianggap sama dengan mengerjakana amalan wajib (HR. Bahaiqi dan Ibnu Khuzaimah). Maka perbanyaklah amal dan ibadah, mumpung Allah menggelar obral pahala.
4. Pintu surga dibuka dan neraka ditutup
       "Kalau datang bulan Ramadhan terbuka pintu surga, tertutup pintu neraka, dan setan-setan terbelenggu."(HR Muslim) Kenapa pintu surga terbuka? Karena sedikit saja amal perbuatan yang dilakuka n, bisa mengantar seseorang ke surga. Boleh diibaratkan, bulan puasa itu bulan obral. Orang yang tidak membeli akan merugi. Amal sedikit saja dilipatgandakan ganjarannya sedemikian banyak. Obral ganjaran itu untuk mendorong orang melakukan amal-amal kebaikan di bulan Ramadhan. Dengan demikian otomatis pintu neraka tertutup dan tidak ada lagi kesempatan buat setan menggoda manusia.
5. Ibadah istimewa
          Keistimewaan puasa ini dikatakan Allah lewat hadis qudsinya, "Setiap amalan anak Adam itu untuk dirinya, kecuali puasa. Itu milik-Ku dan Aku yang membalasnya karena ia (orang yang berpuasa) meninggalkan syahwat dan makanannya karena Aku." (HR Bukhari Muslim) Menurut Quraish Shihab, ahli tafsir kondang dari IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, puasa dikatakan untuk Allah dalam arti untuk meneladani sifat-sifat Allah. Itulah subtansi puasa.
          Misalnya, dalam bidang jasmani, kita tahu Tuhan tidak beristri. Jadi ketika berpuasa dia tidak boleh melakukan hubungan seks. Allah tidak makan, tapi memberi makan. Itu diteladani, maka ketika berpuasa kita tidak makan, tapi kita memberi makan. Kita dianjurkan untuk mengajak orang berbuka puasa. Ini tahap dasar meneladani Allah.
         Masih ada tahap lain yang lebih tinggi dari sekedar itu. Maha Pemurah adalah salah satu sifat Tuhan yang seharusnya juga kita teladani. Maka dalam berpuasa, kita dianjurkan banyak bersedekah dan berbuat kebaikan. Tuhan Maha Mengetahui. Maka dalam berpuasa, kita harus banyak belajar. Belajar bisa lewat membaca al-Qur'an, membaca kitab-kitab yang bermanfaat, meningkatkan pengetahuan ilmiah.
       Allah swt setiap saat sibuk mengurus makhluk-Nya. Dia bukan hanya mengurus manusia. Dia juga mengurus binatang. Dia mengurus semut. Dia mengurus rumput-rumput yang bergoyang. Manusia yang berpuasa meneladani Tuhan dalam sifat-sifat ini, sehingga dia harus selalu dalam kesibukan.
      Perlu ditekankan meneladani Tuhan itu sesuai dengan kemampuan kita sebagai manusia. Kita tidak mampu untuk tidak tidur sepanjang malam, tidurlah secukupnya. Kita tidak mampu untuk terus-menerus tidak makan dan tidak minum. Kalau begitu, tidak makan dan tidak minum cukup sejak terbitnya fajar sampai tenggelamnya matahari saja.
6. Dicintai Allah
         Nah, sesesorang yang meneladani Allah sehingga dia dekat kepada-Nya. Bila sudah dekat, minta apa saja akan mudah dikabulkan. Bila Allah telah mencintai hambanya, dilukiskan dalam satu hadis Qudsi, "Kalau Aku telah mencintai seseorang, Aku menjadi pendengaran untuk telinganya, menjadi penglihatan untuk matanya, menjadi pegangan untuk tangannya, menjadi langkah untuk kakinya." (HR Bukhari)
7. Do'a dikabulkan
        "Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, katakanlah bahwa Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang berdo'a apabila dia berdo'a, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)Ku." (QS. al-Baqarah: 186) 
        Memperhatikan redaksi kalimat ayat di atas, berarti ada orang berdo'a tapi sebenarnya tidak berdo'a. Yaitu do'anya orang-orang yang tidak memenuhi syarat. Apa syaratnya? "maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)Ku."
           Benar, berdo'a pada Ramadhan punya tempat khusus, seperti dikatakan Nabi saw, "Tiga do'a yang tidak ditolak; orang berpuasa hingga berbuka puasa, pemimpin yang adil dan do'anya orang teraniaya. Allah mengangkat do'anya ke awan dan membukakan pintu-pintu langit. 'Demi kebesaranKu, engkau pasti Aku tolong meski tidak sekarang." (HR Ahmad dan Tirmidzi)
        Namun harus diingat bahwa segala makanan yang kita makan, kecucian pakaian, kesucian tempat, itu punya hubungan yang erat dengan pengabulan do'a. Nabi pernah bersabda, ada seorang yang sudah kumuh pakaiannya, kusut rambutnya berdo'a kepada Tuhan. Sebenarnya keadaannya yang kumuh itu bisa mengantarkan do'anya dia diterima. Tapi kalau makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya yang dipakainya terambil dari barang yang haram, bagaimana bisa dikabulkan doa'nya?
        Jadi do'a itu berkaitan erat dengan kesucian jiwa, pakaian dan makanan. Di bulan Ramadhan jiwa kita diasah hingga bersih. Semakin bersih jiwa kita, semakin tulus kita, semakin bersih tempat, pakaian dan makanan, semakin besar kemungkinan untuk dikabulkan do'a.
8. Turunnya Lailatul Qodar
        Pada bulan Ramadhan Allah menurunkan satu malam yang sangat mulia. Saking mulianya Allah menggambarkan malam itu nilainya lebih dari seribu bulan (QS. al-Qadr). Dikatakan mulia, pertama lantaran malam itulah awal al-Qur'an diturunkan. Kedua, begitu banyak anugerah Allah dijatuhkan pada malam itu.
         Beberapa hadits shahih meriwayatkan malam laulatul qodar itu jatuh pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Seperti dirawikan Imam Ahmad, "Lailatul qadar adalah di akhir bulan Ramadhan tepatnya di sepuluhb terakhir, malam keduapuluh satu atau duapuluh tiga atau duapuluh lima atau duapuluh tujuh atau duapuluh sembilan atau akhir malam Ramadhan. Barangsiapa mengerjakan qiyamullail (shalat malam) pada malam tersebut karena mengharap ridha-Ku, maka diampuni dosanya yang lampau atau yang akan datang."
         Mengapa ditaruh diakhir Ramadhan, bukan pada awal Ramadhan? Rupanya karena dua puluh malam sebelumnya kita mengasah dan mengasuh jiwa kita. Itu adalah suatu persiapan untuk menyambut lailatul qodar.
        Ada dua tanda lailatul qadar. Al Qur'an menyatakan, "Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat JIbril dengan izin Tuhan mereka untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan/kedamaian sampai terbit fajar. (QS al-Qadr: 4-5)
         Malaikat bersifat gaib, kecuali bila berubah bentuk menjadi manusia. Tapi kehadiran malaikat dapat dirasakan. Syekh Muhammad Abduh menggambarkan, "Kalau Anda menemukan sesuatu yang sangat berharga, di dalam hati Anda akan tercetus suatu bisikan, 'Ambil barang itu!' Ada bisikan lain berkata, 'Jangan ambil, itu bukan milikmu!' Bisikan pertama adalah bisikan setan. Bisikan kedua adalah bisikan malaikat." Dengan demikian, bisikan malaikat selalu mendorong seseorang untuk melakukan hal-hal positif. Jadi kalau ada seseorang yang dari hari demi hari sisi kebajikan dan positifnya terus bertambah, maka yakinlah bahwa ia telah bertemu dengan lailatul qodar.
9. Meningkatkan kesehatan 
        Sudah banyak terbukti bahwa puasa dapat meningkatkan kesehatan. Misalnya, dengan puasa maka organ-organ pencernaan dapat istirahat. Pada hari biasa alat-alat pencernaan di dalam tubuh bekerja keras. Setiap makanan yang masuk ke dalam tubuh memerlukan proses pencernaan kurang lebih delapan jam. Empat jam diproses di dalam lambung dan empat jam di usus kecil (ileum). Jika malam sahur dilakukan pada pukul 04.00 pagi, berarti pukul 12 siang alat pencernaan selesai bekerja. Dari pukul 12 siang sampai waktu berbuka, kurang lebih selama enam jam, alat pencernaan mengalami istirahat total.
          Meningkatkan sistem kekebalan tubuh. Berdasarkan penelitian yang dilakukan para ahli kesehatan, ternyata dengan berpuasa sel darah putih meningkat dengan pesat sekali. Penambahan jumlah sel darah putih secara otomatis akan meningkatkan sistem kekebalan tubuh.Menghambat perkembangan atau pertumbuhan bakteri, virus dan sel kanker. Dalam tubuh manusia terdapat parasit-parasit yang menumpang makan dan minum. Dengan menghentikan pemasukan makanan, maka kuman-kuman penyakit seperti bakteri-bakteri dan sel-sel kanker tidak akan bisa bertahan hidup. Mereka akan keluar melalui cairan tubuh bersama sel-sel yang telah mati dan toksin.
          Manfaat puasa yang lain adalah membersihkan tubuh dari racun kotoran dan ampas, mempercepat regenasi kulit, menciptakan keseimbangan elektrolit di dalam lambung, memperbaiki fungsi hormon, meningkatkan fungsi organ reproduksi, meremajakan atau mempercepat regenerasi sel-sel tubuh, meningkatkan fungsi fisiologis organ tubuh, dan meningkatkan fungsi susunan syaraf.
10. Penuh harapan
       Saat berpuasa, ada sesuatu yang diharap-harap. Harapan itu kian besar menjelang sore. Sehari penuh menahan lapar dan minum, lalu datang waktu buka, wah... rasanya lega sekali. Alhamdulillah. Itulah harapan yang terkabul. Apalagi harapan bertemu Tuhan, masya' Allah, menjadikan hidup lebih bermakna. "Setiap orang berpuasa selalu mendapat dua kegembiraan, yaitu tatkala berbuka puasa dan saat bertemu dengan Tuhannya." (HR. Bukhari).
11. Masuk surga melalui pintu khusus, Rayyaan
        "Sesungguhnya di surga itu ada sebuah pintu yang disebut rayyan yang akan dilewati oleh orang-orang yang berpuasa pada hari kiamat nanti, tidak diperbolehkan seseorang melewatinya selain mereka. Ketika mereka dipanggil, mereka akan segera bangkit dan masuk semuanya kemudian ditutup." (HR. Bukhari)
12. Minum air telaganya Rasulullah saw
       "Barangsiapa pada bulan Ramadhan memberi makan kepada orang yang berbuka puasa, maka itu menjadi ampunan bagi dosa-dosanya, dan mendapat pahala yang sama tanpa sedikit pun mengurangi pahala orang lain. Mereka (para sahabat) berkata, 'Wahai Rasulullah, tidak setiap kami mempunyai makanan untuk diberikan kepada orang yang berbuka puasa.' Beliau berkata, 'Allah memberikan pahala kepada orang yang memberi buka puasa meski dengan sebutir kurma, seteguk air, atau sesisip susu...Barangsiapa memberi minum orang yang berpuasa maka Allah akan memberinya minum seteguk dari telagak dimana ia tidak akan haus hingga masuk surga." (HR. Ibnu Khuzaimah dan Baihaqi)
13. Berkumpul dengan sanak keluarga
        Pada tanggal 1 Syawal ummat Islam merayakan Hari Raya Idhul Fitri. Inilah hari kemenangan setelah berperang melawan hawa nafsu dan syetan selama bulan Ramadhan. Di Indonesia punya tradisi khusus untuk merayakan hari bahagia itu yang disebut Lebaran. Saat itu orang ramai melakukan silahtuhrahim dan saling memaafkan satu dengan yang lain. Termasuk kerabat-kerabat jauh datang berkumpul. Orang-orang yang bekerja di kota-kota pulang untuk merayakan lebaran di kampung bersama kedua orang tuanya. Maka setiap hari Raya selalu terjadi pemandangan khas, yaitu orang berduyun-duyun dan berjubel-jubel naik kendaraan mudik ke kampung halaman. Silahturahim dan saling memaafkan itu menurut ajaran Islam bisa berlangsung kapan saja. Tidak mesti pada Hari Raya. Tetapi itu juga tidak dilarang. Justru itu momentum bagus. Mungkin, pada hari biasa kita sibuk dengan urusan masing-masing, sehingga tidak sempat lagi menjalin hubungan dengan tetangga dan saudara yang lain. Padahal silahturahim itu dianjurkan Islam, sebagaimana dinyatakan hadis, "Siapa yang ingin rezekinya dibanyakkan dan umurnya dipanjangkan, hendaklah ia menghubungkan tali silaturahmi!" (HR. Bukhari)
14. Qaulan tsaqiilaa
         Pada malam Ramadhan ditekankan (disunnahkan) untuk melakukan shalat malam dan tadarus al-Qur'an. Waktu paling baik menunaikan shalat malam sesungguhnya seperdua atau sepertiga malam terakhir (QS Al Muzzammil: 3). Tetapi demi kesemarakan syiar Islam pada Ramadhan ulama membolehkan melakukan terawih pada awal malam setelah shalat isya' dengan berjamaah di masjid. Shalat ini populer disebut shalat tarawih. Shalat malam itu merupakan peneguhan jiwa, setelah siangnya sang jiwa dibersihkan dari nafsu-nafsu kotor lainnya. Ditekankan pula usai shalat malam untuk membaca Kitab Suci al-Qur'an secara tartil (memahami maknanya). Dengan membaca Kitab Suci itu seseorang bakal mendapat wawasan-wawasan yang luas dan mendalam, karena al-Qur'an memang sumber pengetahuan dan ilham.
          Dengan keteguhan jiwa dan wawasan yang luas itulah Allah kemudian mengaruniai qaulan tsaqiilaa (perkataan yang berat). Perkataan-perkataan yang berbobot dan berwibawa. Ucapan-ucapannya selalu berisi kebenaran. Maka orang-orang yang suka melakukan shalat malam wajahnya bakal memancarkan kewibawaan.
15. Hartanya tersucikan
          Setiap Muslim yang mampu pada setiap Ramadhan diwajibkan mengeluarkan zakat. Ada dua zakat, yaitu fitrah dan maal. Zakat fitrah besarnya 2,5 kilogram per orang berupa bahan-bahan makanan pokok. Sedangkan zakat maal besarnya 2,5 persen dari seluruh kekayaannya bila sudah mencapai batas nisab dan waktunya. Zakat disamping dimaksudkan untuk menolong fakir miskin, juga guna mensucikan hartanya. Harta yang telah disucikan bakal mendatangkan barakah dan menghindarkan pemiliknya dari siksa api neraka. Harta yang barakah akan mendatangkan ketenangan, kedamaian dan kesejahteraan. Sebaliknya, harta yang tidak barakah akan mengundang kekhawatiran dan ketidaksejahteraan.

Sabtu, 25 Juni 2011

Indahnya Islam Bagi Masyarakat Dunia.

Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk rahmat bagi semesta alam”.
(QS Al-Anbiya’: 107)

Arti Islam

     Islam secara etimologi berarti; berserah diri, dan tunduk patuh. Secara terminologi artinya   berserah diri kepada Allah dengan cara men-tauhidkan-Nya, tunduk patuh dengan melaksanakan ketaatan atas segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, serta bebas diri dari perbuatan syirik dan orang-orangnya.2).

       Apabila Islam disebut dengan Iman maka maksudnya adalah perkataan dan amalan. Islam   adalah satu-satunya agama yang benar dan satu-satunya yang diterima Allah. 3) Islam berarti berserah diri kepada Allah dengan cara mentauhidkan-Nya, tundukdan patuh kepada-Nya dengan melaksanakan ketaatan atas segala perintah dan menjauhi larangan-Nya, serta membebaskan diri   perbuatan syirik.
               Agama Islam adalah satu-satunya agama yang benar dan diterima Allah. Agama maupun
kepercayaan buatan selain Islam adalah batil tidak akan diterima dan ditolak mentah-mentah.
  
  Sebagaimana firman Allah;
“Barangsiapa yang mencari agama selain Islam, maka tidak akan diterima dan di akhirat termasuk
   orang-orang yang rugi”. (QS. Ali Imron: 85).

   Mudahnya Islam


          ”Islam itu tinggi dan tiada yang bisa menandingi ketinggiannya” (Ucapan ‘Ali bin Abu Tholib)

      Prinsip-prinsip agama Islam itu jelas, terang, kokoh, abadi selama-lamanya. Yang se muanyadiambil dari sumber utama; Al-Qur’an dan As-sunnah yang shohih. Konsep-konsep Islam  sangat gamblang, sempurna dalam hal keyakinan aqidah, amal ibadah, konsep syari’at, dan perilaku. Jauh dari kata-kata kacau, tidak pula muter-muter, plin-plan, ruwet dan mengada-ada. 

         Islam adalah sumber kebahagiaan, kesuksesan dan kemuliaan manusia. Segala jenis kebaikan semuanya terdapat dalam ajaran Islam. Ajaran Islam membuahkan berbagai jenis kebaikan dan keberkahan dunia akhirat. 
 
        Ajaran Islam cocok untuk seluruh bangsa dengan beraneka latar problematikanya. Islam sesuai disetiap masa dan tempat, di setiap kondisi dan situasi. Dengan Islam ini ummat manusia akan menjadi baik, sejahtera, dan aman sentausa. Tetapi Islam tidak tunduk kepada tempat dan kondisi umat.

PRINSIP - PRINSIP ISLAM


        Setiap muslim bisa jadi sebagai petani, polisi, aparatur negara, wiraswasta atau apa saja namunkewajiban menjadi seorang hamba Allah yang baik adalah kewajiban utama dalam hidupnya.Sehingga mengetahui dasar dan karakteristik agama Islam merupakan kewajiban pula.


         Dengan mengetahui Islam kita akan semakin yakin bahwa hanya Islam sajalah yang dapat
menyelesaikan setiap masalah yang dihadapi oleh seluruh manusia. Baik individu, rumah tangga,
masyarakat, bangsa dan Negara. Dalam seluruh aspek kehidupan, entah masalah keyakinan, ibadah, akhlaq, ekonomi, politik dan seterusnya. Semuanya telah diterangkan secara global di dalam Islam.


          Maka Islam merupakan nikmat yang besar dari Allah untuk manusia. Orang yang tidak
mengetahuinya akan senantiasa berada pada kegelapan dan kerugian. Akibatnya dia menderita
dalam kekafirannya. Hidupnya sengsara dan celaka, jauh dari ketentraman dan di akhirat disiapkan siksa yang pedih.







Bersikap Jujur, Menjauhi Dusta

Seorang Muslim sejatinya bukanlah pembohong atau orang yang biasa melakukan  kebohongan. Bahkan seharusnya ia tidak pernah berbohong; kecuali dalam hal yang dibenarkan oleh syariah, seperti pada saat berperang melawan musuh atau demi mendamaikan dua orang Muslim yang sedang berselisih. Sebaliknya, seorang Muslim wajib selalu berkata dan bersikap jujur/benar. Apalagi jika dia adalah seorang pemimpin umat, tokoh masyarakat, atau malah seorang pejabat atau penguasa.

Berbohong jelas perbuatan dosa. Sebaliknya, berkata dan berperilaku jujur/benar adalah wajib. Allah SWT berfirman (yang artinya): Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah, dan jadilah kalian beserta orang-orang yang jujur/benar (QS at-Taubah [9]: 119).

Dalam kitab Hawasyi Syarh al-‘Aqa’id, al-‘Allamah Ibn Abi Syarif menyatakan, “Dalam istilah kaum sufi, kejujuran/kebenaran (ash-shidqu) bermakna: samanya (perilaku seseorang) dalam keadaan tersembunyi (dari manusia) maupun dalam keadaan terang-terangan (terlihat manusia); kesesuaian (penampakan) lahiriah seseorang dengan batiniahnya. Dengan kata lain, keadaan seorang hamba tidak bertentangan dengan perilakunya, dan perilakunya tidak berlawanan dengan keadaannya.”

Dalam kitab Risalah al-Qusyairiyah karya Syaikh Zakariya dinyatakan bahwa al-Junaid pernah ditanya, “Samakah sikap jujur/benar dengan ikhlas?” ia menjawab, “Keduanya berbeda. Jujur/benar itu pangkal/pokok (ashl[un]), sementara ikhlas itu ranting/cabang (far’[un]). Kejujuran/kebenaran adalah pangkal segala sesuatu, sedangkan keikhlasan tidak terjadi kecuali setelah melakukan perbuatan. Amal perbuatan tidaklah diterima oleh Allah SWT  kecuali dengan sikap jujur/benar dan ikhlas.”

Dalam ayat di atas, Allah SWT berfirman (yang artinya): Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah; yakni dengan cara meninggalkan maksiat (dan tentu dengan menjalankan ketaatan kepada Allah SWT). Jadilah kalian beserta orang-orang yang jujur/benar; yakni baik dalam keimanan maupun  dalam memenuhi berbagai macam perjanjian.  Sebagian ulama menyatakan: ma’a ash-shadiqqin (beserta orang-orang yang jujur/benar) artinya bersama orang-orang yang senantiasa berdiri di atas jalan hidup yang benar (‘ala minhaj al-haqq).

Terkait dengan ayat di atas, di dalam sebuah hadisnya Baginda Rasulullah SAW bersabda, sebagaimana dituturkan oleh Ibnu Mas’ud, “Sesungguhnya kejujuran/kebenaran (ash-shidqu) mengantarkan pada kebaikan (al-birru), dan sesungguhnya kebaikan mengantarkan pada surga. Sesungguhnya kebohongan/kedustaan mengantarkan pada kefasikan/kemaksiatan, dan sesungguhnya kefasikan/kemaksiatan mengantarkan pada neraka. Sesungguhnya seseorang yang benar-benar bersikap jujur/benar akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur/benar. Sesungguhnya seseorang yang benar-benar berbohong di sisi Allah akan dicatat sebagai pembohong.” (Mutaffaq ‘alaih).

Maknanya, kejujuran/kebenaran dalam ucapan akan mengantarkan pada amal shalih yang sunyi dari  segala cela. Dalam hal ini al-birru adalah nama untuk menyebut segala jenis kebaikan (al-khayr). Imam al-Qurthubi berkata, “Setiap orang yang memahami Allah SWT wajib bersikap jujur/benar dalam ucapan, ikhlas dalam amal perbuatan dan senantiasa ‘bersih’ (tidak banyak melakukan dosa/kemaksiatan) dalam seluruh keadaan. Siapapun yang keadaannya seperti itu, dialah orang-orang benar-benar baik dan benar-benar ada dalam ridha Allah Yang Maha Pengampun.” (Lihat: Muhammad bin ‘Allan ash-Shiddiqi, Dalil al-Falihin li Thuruq Riyadh ash-Shalihin, I/ 146).
Seorang yang jujur/benar pasti akan jauh dari sifat-sifat munafik-sebagaimana dinyatakan oleh Baginda Rasulullah SAW-yakni: dusta dalam berbicara;  ingkar janji, mengkhianati amanah (HR al-Bukhari dan Muslim).

Terkait dengan sifat munafik ini, Sahabat Hudzaifah ra pernah berkata, “Orang-orang munafik sekarang lebih jahat (berbahaya) daripada orang munafik pada masa Rasulullah SAW” Saat ia ditanya, “Mengapa demikian?” Hudzaifah menjawab, “Sesungguhnya pada masa Rasulullah SAW mereka menyembunyikan kemunafikannya, sedangkan sekarang mereka berani menampakkannya.”‌ (Diriwayatkan oleh al-Farayabi tentang sifat an-nifaq (51-51), dengan isnad sahih).

Imam Ibnu Taimiyah berkata, “Al-Kidzb (dusta) adalah salah satu rukun  dari kekufuran.”‌ Selanjutnya ia menuturkan bahwa jika Allah menyebut kata nifak dalam Alquran, maka Dia menyebutnya bersama dengan dusta (al-kidzb). Demikian pula sebaliknya (Lihat: QS al-Baqarah: 9-10; QS al-Munafiqun: 1).

Walhasil, dusta/bohong merupakan karakter yang secara kongkret membuktikan bahwa pelakunya telah terjangkiti virus‌ kemunafikan. Semoga kita terpelihara dari sifat tersebut. Amin.



Minggu, 12 Juni 2011

Menjadi Sahabat Yang Menyenangkan

          Secara fitrah, menikah akan memberikan ketenangan (ithmi'nân/ thuma’nînah) bagi setiap manusia, asalkan pernikahannya dilakukan sesuai dengan aturan Allah Swt., Zat Yang mencurahkan cinta dan kasih-sayang kepada manusia
         Hampir setiap Mukmin mempunyai harapan yang sama tentang keluarganya, yaitu ingin bahagia; sakînah mawaddah warahmah. Namun, sebagian orang menganggap bahwa menciptakan keluarga yang sakinah mawaddah warahmah serta langgeng adalah hal yang tidak gampang. Fakta-fakta buruk kehidupan rumahtangga yang terjadi di masyarakat seolah makin mengokohkan asumsi sulitnya menjalani kehidupan rumahtangga. Bahkan, tidak jarang, sebagian orang menjadi enggan menikah atau menunda-nunda pernikahannya.

Menikahlah, Karena Itu Ibadah


         Sesungguhnya menikah itu bukanlah sesuatu yang menakutkan, hanya memerlukan perhitungan cermat dan persiapan matang saja, agar tidak menimbulkan penyesalan. Sebagai risalah yang syâmil (menyeluruh) dan kâmil (sempurna), Islam telah memberikan tuntunan tentang tujuan pernikahan yang harus dipahami oleh kaum Muslim. Tujuannya adalah agar pernikahan itu berkah dan bernilai ibadah serta benar-benar memberikan ketenangan bagi suami-istri. Dengan itu akan terwujud keluarga yang bahagia dan langgeng. Hal ini bisa diraih jika pernikahan itu dibangun atas dasar pemahaman Islam yang benar.
       Menikah hendaknya diniatkan untuk mengikuti sunnah Rasullullah saw., melanjutkan keturunan, dan menjaga kehormatan. Menikah juga hendaknya ditujukan sebagai sarana dakwah, meneguhkan iman, dan menjaga kehormatan. Pernikahan merupakan sarana dakwah suami terhadap istri atau sebaliknya, juga dakwah terhadap keluarga keduanya, karena pernikahan berarti pula mempertautkan hubungan dua keluarga. Dengan begitu, jaringan persaudaraan dan kekerabatan pun semakin luas. Ini berarti, sarana dakwah juga bertambah. Pada skala yang lebih luas, pernikahan islami yang sukses tentu akan menjadi pilar penopang dan pengokoh perjuangan dakwah Islam, sekaligus tempat bersemainya kader-kader perjuangan dakwah masa depan.

         Inilah tujuan pernikahan yang seharusnya menjadi pijakan setiap Muslim saat akan menikah. Karena itu, siapa pun yang akan menikah hendaknya betul-betul mempersiapkan segala hal yang dibutuhkan untuk meraih tujuan pernikahan seperti yang telah digariskan Islam. Setidaknya, setiap Muslim, laki-laki dan perempuan, harus memahami konsep-konsep pernikahan islami seperti: aturan Islam tentang posisi dan peran suami dan istri dalam keluarga, hak dan kewajiban suami-istri, serta kewajiban orangtua dan hak-hak anak; hukum seputar kehamilan, nasab, penyusuan, pengasuhan anak, serta pendidikan anak dalam Islam; ketentuan Islam tentang peran Muslimah sebagai istri, ibu, dan manajer rumahtangga, juga perannya sebagai bagian dari umat Islam secara keseluruhan, serta bagaimana jika kewajiban-kewajiban itu berbenturan pada saat yang sama; hukum seputar nafkah, waris, talak (cerai), rujuk, gugat cerai, hubungan dengan orangtua dan mertua, dan sebagainya. Semua itu membutuhkan penguasaan hukum-hukum Islam secara menyeluruh oleh pasangan yang akan menikah. Artinya, menikah itu harus didasarkan pada ilmu.

Jadilah Sahabat yang Menyenangkan


           Pernikahan pada dasarnya merupakan akad antara laki-laki dan perempuan untuk membangun rumahtangga sebagai suami-istri sesuai dengan ketentuan syariat Islam. Sesungguhnya kehidupan rumahtangga dalam Islam adalah kehidupan persahabatan. Suami adalah sahabat karib bagi istrinya, begitu pula sebaliknya.
            Keduanya benar-benar seperti dua sahabat karib yang siap berbagi suka dan duka bersama dalam menjalani kehidupan pernikahan mereka demi meraih tujuan yang diridhai Allah Swt. Istri bukanlah sekadar patner kerja bagi suami, apalagi bawahan atau pegawai yang bekerja pada suami. Istri adalah sahabat, belahan jiwa, dan tempat curahan hati  suaminya.

Islam telah menjadikan istri sebagai tempat yang penuh ketenteraman bagi suaminya. Allah Swt. berfirman:
وَمِنْ ءَايَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا

Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya. (TQS. ar-Rum [30]: 21).

         Maka dari itu, sudah selayaknya suami akan merasa tenteram dan damai jika ada di sisi istrinya, demikian pula sebaliknya. Suami akan selalu cenderung dan ingin berdekatan dengan istrinya. Di sisi istrinya, suami akan selalu mendapat semangat baru untuk terus menapaki jalan dakwah, demikian pula sebaliknya. Keduanya akan saling tertarik dan cenderung kepada pasangannya, bukan saling menjauh. Keduanya akan saling menasihati, bukan mencela; saling menguatkan, bukan melemahkan; saling membantu, bukan bersaing.
          Keduanya pun selalu siap berproses bersama meningkatkan kualitas ketakwaannya demi meraih kemulian di sisi-Nya. Mereka berdua berharap, Allah Swt. berkenan mengumpulkan keduanya di surga kelak. Ini berarti, tabiat asli kehidupan rumahtangga dalam Islam adalah ithmi'nân/tuma’ninah (ketenangan dan ketentraman). Walhasil, kehidupan pernikahan yang ideal adalah terjalinnya kehidupan persahabatan antara suami dan istri yang mampu memberikan ketenangan dan ketenteraman bagi keduanya.
      Untuk menjamin teraihnya ketengan dan ketenteraman tersebut, Islam telah menetapkan serangkaian aturan tentang hak dan kewajiban suami-istri. Jika seluruh hak dan kewajiban itu dijalankan secara benar, terwujudnya keluarga yang sakinah mawaddah warahmah adalah suatu keniscayaan.

Bersabar atas Kekurangan Pasangan


        Kerap terjadi, kenyataan hidup tidak seindah harapan. Begitu pula dengan kehidupan rumahtangga, tidak selamanya berlangsung tenang. Adakalanya kehidupan suami-istri itu dihadapkan pada berbagai problem baik kecil ataupun besar, yang bisa mengusik ketenangan keluarga. Penyebabnya sangat beragam; bisa karena kurangnya komunikasi antara suami-istri, suami kurang makruf terhadap istri, atau suami kurang perhatian kepada istri dan anak-anak; istri yang kurang pandai dan kurang kreatif menjalankan fungsinya sebagai istri, ibu, dan manajer rumahtangga; karena adanya kesalahpahaman dengan mertua; atau suami yang 'kurang serius' atau 'kurang ulet' mencari nafkah. Penyebab lainnya adalah karena tingkat pemahaman agama yang tidak seimbang antara suami-istri; tidak jarang pula karena dipicu oleh suami atau istri yang selingkuh, dan lain-lain.
       Sesungguhnya Islam tidak menafikan adanya kemungkinan terusiknya ketenteraman dalam kehidupan rumahtangga. Sebab, secara alami, setiap manusia yang hidup di dunia ini pasti dihadapkan pada berbagai persoalan. Hanya saja, seorang Muslim yang kokoh imannya akan senantiasa yakin bahwa Islam pasti mampu memecahkan semua problem kehidupannya. Oleh karena itu, dia akan senantiasa siap menghadapi problem tersebut, dengan menyempurnakan ikhtiar untuk mencari solusinya dari Islam, seiring dengan doa-doanya kepada Allah Swt. Sembari berharap, Allah memudahkan penyelesaian segala urusannya.
        Keluarga yang sakinah mawaddah warahmah bukan berarti tidak pernah menghadapi masalah. Yang dimaksud adalah keluarga yang dibangun atas landasan Islam, dengan suami-istri sama-sama menyadari bahwa mereka menikah adalah untuk ibadah dan untuk menjadi pilar yang mengokohkan perjuangan Islam. Mereka siap menghadapi masalah apapun yang menimpa rumahtangga mereka. Sebab, mereka tahu jalan keluar apa yang harus ditempuh dengan bimbingan Islam.
        Islam telah mengajarkan bahwa manusia bukanlah malaikat yang selalu taat kepada Allah, tidak pula ma‘shûm (terpelihara dari berbuat maksiat) seperti halnya para nabi dan para rasul. Manusia adalah hamba Allah yang memiliki peluang untuk melakukan kesalahan dan menjadi tempat berkumpulnya banyak kekurangan. Pasangan kita (suami atau istri) pun demikian, memiliki banyak kekurangan. Karena itu, kadangkala apa yang dilakukan dan ditampakkan oleh pasangan kita tidak seperti gambaran ideal yang kita harapkan. Dalam kondisi demikian, maka sikap yang harus diambil adalah bersabar!
         Sabar adalah salah satu penampakan akhlak yang mulia, yaitu wujud ketaatan hamba terhadap perintah dan larangan Allah Swt. Sabar adalah bagian hukum syariat yang diperintahkan oleh Islam. (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 153; QS az-Zumar [39]: 10).
       Makna kesabaran yang dimaksudkan adalah kesabaran seorang Mukmin dalam rangka ketaatan kepada Allah; dalam menjalankan seluruh perintah-Nya; dalam upaya menjauhi seluruh larangan-Nya; serta dalam menghadapi ujian dan cobaan, termasuk pula saat kita dihadapkan pada 'kekurangan' pasangan (suami atau istri) kita.
          Namun demikian, kesabaran dalam menghadapi 'kekurangan' pasangan kita harus dicermati dulu faktanya. Pertama: Jika kekurangan itu berkaitan dengan kemaksiatan yang mengindikasikan adanya pelalaian terhadap kewajiban atau justru melanggar larangan Allah Swt. Dalam hal ini, wujud kesabaran kita adalah dengan menasihatinya secara makruf serta mengingatkannya untuk tidak melalaikan kewajibannya dan agar segera meninggalkan larangan-Nya. Contoh pada suami: suami tidak berlaku makruf kepada istrinya, tidak menghargai istrinya, bukannya memuji tetapi justru suka mencela, tidak menafkahi istri dan anak-anaknya, enggan melaksanakan shalat fardhu, enggan menuntut ilmu,  atau malas-malasan dalam berdakwah. Contoh pada istri: istri tidak taat pada suami, melalaikan pengasuhan anaknya, melalaikan tugasnya sebagai manajer rumahtangga (rabb al-bayt), sibuk berkarier, atau mengabaikan upaya menuntut ilmu dan aktivitas amar makruf nahi mungkar. Sabar dalam hal ini tidak cukup dengan berdiam diri saja atau nrimo dengan apa yang dilakukan oleh pasangan kita, tetapi harus ada upaya maksimal menasihatinya dan mendakwahinya. Satu hal yang tidak boleh dilupakan, kita senantiasa mendoakan pasangan kita  kepada Allah Swt.
           Kedua: Jika kekurangan itu berkaitan dengan hal-hal yang mubah maka hendaknya dikomunikasikan secara makruf di antara suami-istri. Contoh: suami tidak terlalu romantis bahkan cenderung cuwek; miskin akan pujian terhadap istri, padahal sang istri mengharapkan itu; istri kurang pandai menata rumah, walaupun sudah berusaha maksimal tetapi tetap saja kurang estetikanya, sementara sang suami adalah orang yang apik dan rapi; istri kurang bisa memasak walaupun dia sudah berupaya maksimal menghasilkan yang terbaik;  suami “cara bicaranya” kurang lembut dan cenderung bernada instruksi sehingga kerap menyinggung perasaan istri; istri tidak bisa berdandan untuk suami, model rambutnya kurang bagus, hasil cucian dan setrikaannya kurang rapi; dan sebagainya. Dalam hal ini kita dituntut bersabar untuk mengkomunikasikannya, memberikan masukan, serta mencari jalan keluar bersama pasangan kita. Jika upaya sudah maksimal tetapi belum juga ada perubahan, maka terimalah itu dengan lapang dada seraya terus mendoakannya kepada Allah Swt. (Lihat: QS an-Nisa' [4]: 19). Rasulullah saw. bersabda:

Janganlah seorang suami membenci istrinya. Jika dia tidak menyukai satu perangainya maka dia akan menyenangi perangainya yang lain. (HR Muslim).

Inilah tuntunan Islam yang harus dipahami oleh setiap Mukmin yang ingin rumahtangganya diliputi dengan kebahagiaan, cinta kasih, ketenteraman, dan langgeng. Wallâhu a‘lam bi ash-shawab.