Minggu, 12 Juni 2011

Menjadi Sahabat Yang Menyenangkan

          Secara fitrah, menikah akan memberikan ketenangan (ithmi'nân/ thuma’nînah) bagi setiap manusia, asalkan pernikahannya dilakukan sesuai dengan aturan Allah Swt., Zat Yang mencurahkan cinta dan kasih-sayang kepada manusia
         Hampir setiap Mukmin mempunyai harapan yang sama tentang keluarganya, yaitu ingin bahagia; sakînah mawaddah warahmah. Namun, sebagian orang menganggap bahwa menciptakan keluarga yang sakinah mawaddah warahmah serta langgeng adalah hal yang tidak gampang. Fakta-fakta buruk kehidupan rumahtangga yang terjadi di masyarakat seolah makin mengokohkan asumsi sulitnya menjalani kehidupan rumahtangga. Bahkan, tidak jarang, sebagian orang menjadi enggan menikah atau menunda-nunda pernikahannya.

Menikahlah, Karena Itu Ibadah


         Sesungguhnya menikah itu bukanlah sesuatu yang menakutkan, hanya memerlukan perhitungan cermat dan persiapan matang saja, agar tidak menimbulkan penyesalan. Sebagai risalah yang syâmil (menyeluruh) dan kâmil (sempurna), Islam telah memberikan tuntunan tentang tujuan pernikahan yang harus dipahami oleh kaum Muslim. Tujuannya adalah agar pernikahan itu berkah dan bernilai ibadah serta benar-benar memberikan ketenangan bagi suami-istri. Dengan itu akan terwujud keluarga yang bahagia dan langgeng. Hal ini bisa diraih jika pernikahan itu dibangun atas dasar pemahaman Islam yang benar.
       Menikah hendaknya diniatkan untuk mengikuti sunnah Rasullullah saw., melanjutkan keturunan, dan menjaga kehormatan. Menikah juga hendaknya ditujukan sebagai sarana dakwah, meneguhkan iman, dan menjaga kehormatan. Pernikahan merupakan sarana dakwah suami terhadap istri atau sebaliknya, juga dakwah terhadap keluarga keduanya, karena pernikahan berarti pula mempertautkan hubungan dua keluarga. Dengan begitu, jaringan persaudaraan dan kekerabatan pun semakin luas. Ini berarti, sarana dakwah juga bertambah. Pada skala yang lebih luas, pernikahan islami yang sukses tentu akan menjadi pilar penopang dan pengokoh perjuangan dakwah Islam, sekaligus tempat bersemainya kader-kader perjuangan dakwah masa depan.

         Inilah tujuan pernikahan yang seharusnya menjadi pijakan setiap Muslim saat akan menikah. Karena itu, siapa pun yang akan menikah hendaknya betul-betul mempersiapkan segala hal yang dibutuhkan untuk meraih tujuan pernikahan seperti yang telah digariskan Islam. Setidaknya, setiap Muslim, laki-laki dan perempuan, harus memahami konsep-konsep pernikahan islami seperti: aturan Islam tentang posisi dan peran suami dan istri dalam keluarga, hak dan kewajiban suami-istri, serta kewajiban orangtua dan hak-hak anak; hukum seputar kehamilan, nasab, penyusuan, pengasuhan anak, serta pendidikan anak dalam Islam; ketentuan Islam tentang peran Muslimah sebagai istri, ibu, dan manajer rumahtangga, juga perannya sebagai bagian dari umat Islam secara keseluruhan, serta bagaimana jika kewajiban-kewajiban itu berbenturan pada saat yang sama; hukum seputar nafkah, waris, talak (cerai), rujuk, gugat cerai, hubungan dengan orangtua dan mertua, dan sebagainya. Semua itu membutuhkan penguasaan hukum-hukum Islam secara menyeluruh oleh pasangan yang akan menikah. Artinya, menikah itu harus didasarkan pada ilmu.

Jadilah Sahabat yang Menyenangkan


           Pernikahan pada dasarnya merupakan akad antara laki-laki dan perempuan untuk membangun rumahtangga sebagai suami-istri sesuai dengan ketentuan syariat Islam. Sesungguhnya kehidupan rumahtangga dalam Islam adalah kehidupan persahabatan. Suami adalah sahabat karib bagi istrinya, begitu pula sebaliknya.
            Keduanya benar-benar seperti dua sahabat karib yang siap berbagi suka dan duka bersama dalam menjalani kehidupan pernikahan mereka demi meraih tujuan yang diridhai Allah Swt. Istri bukanlah sekadar patner kerja bagi suami, apalagi bawahan atau pegawai yang bekerja pada suami. Istri adalah sahabat, belahan jiwa, dan tempat curahan hati  suaminya.

Islam telah menjadikan istri sebagai tempat yang penuh ketenteraman bagi suaminya. Allah Swt. berfirman:
وَمِنْ ءَايَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا

Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya. (TQS. ar-Rum [30]: 21).

         Maka dari itu, sudah selayaknya suami akan merasa tenteram dan damai jika ada di sisi istrinya, demikian pula sebaliknya. Suami akan selalu cenderung dan ingin berdekatan dengan istrinya. Di sisi istrinya, suami akan selalu mendapat semangat baru untuk terus menapaki jalan dakwah, demikian pula sebaliknya. Keduanya akan saling tertarik dan cenderung kepada pasangannya, bukan saling menjauh. Keduanya akan saling menasihati, bukan mencela; saling menguatkan, bukan melemahkan; saling membantu, bukan bersaing.
          Keduanya pun selalu siap berproses bersama meningkatkan kualitas ketakwaannya demi meraih kemulian di sisi-Nya. Mereka berdua berharap, Allah Swt. berkenan mengumpulkan keduanya di surga kelak. Ini berarti, tabiat asli kehidupan rumahtangga dalam Islam adalah ithmi'nân/tuma’ninah (ketenangan dan ketentraman). Walhasil, kehidupan pernikahan yang ideal adalah terjalinnya kehidupan persahabatan antara suami dan istri yang mampu memberikan ketenangan dan ketenteraman bagi keduanya.
      Untuk menjamin teraihnya ketengan dan ketenteraman tersebut, Islam telah menetapkan serangkaian aturan tentang hak dan kewajiban suami-istri. Jika seluruh hak dan kewajiban itu dijalankan secara benar, terwujudnya keluarga yang sakinah mawaddah warahmah adalah suatu keniscayaan.

Bersabar atas Kekurangan Pasangan


        Kerap terjadi, kenyataan hidup tidak seindah harapan. Begitu pula dengan kehidupan rumahtangga, tidak selamanya berlangsung tenang. Adakalanya kehidupan suami-istri itu dihadapkan pada berbagai problem baik kecil ataupun besar, yang bisa mengusik ketenangan keluarga. Penyebabnya sangat beragam; bisa karena kurangnya komunikasi antara suami-istri, suami kurang makruf terhadap istri, atau suami kurang perhatian kepada istri dan anak-anak; istri yang kurang pandai dan kurang kreatif menjalankan fungsinya sebagai istri, ibu, dan manajer rumahtangga; karena adanya kesalahpahaman dengan mertua; atau suami yang 'kurang serius' atau 'kurang ulet' mencari nafkah. Penyebab lainnya adalah karena tingkat pemahaman agama yang tidak seimbang antara suami-istri; tidak jarang pula karena dipicu oleh suami atau istri yang selingkuh, dan lain-lain.
       Sesungguhnya Islam tidak menafikan adanya kemungkinan terusiknya ketenteraman dalam kehidupan rumahtangga. Sebab, secara alami, setiap manusia yang hidup di dunia ini pasti dihadapkan pada berbagai persoalan. Hanya saja, seorang Muslim yang kokoh imannya akan senantiasa yakin bahwa Islam pasti mampu memecahkan semua problem kehidupannya. Oleh karena itu, dia akan senantiasa siap menghadapi problem tersebut, dengan menyempurnakan ikhtiar untuk mencari solusinya dari Islam, seiring dengan doa-doanya kepada Allah Swt. Sembari berharap, Allah memudahkan penyelesaian segala urusannya.
        Keluarga yang sakinah mawaddah warahmah bukan berarti tidak pernah menghadapi masalah. Yang dimaksud adalah keluarga yang dibangun atas landasan Islam, dengan suami-istri sama-sama menyadari bahwa mereka menikah adalah untuk ibadah dan untuk menjadi pilar yang mengokohkan perjuangan Islam. Mereka siap menghadapi masalah apapun yang menimpa rumahtangga mereka. Sebab, mereka tahu jalan keluar apa yang harus ditempuh dengan bimbingan Islam.
        Islam telah mengajarkan bahwa manusia bukanlah malaikat yang selalu taat kepada Allah, tidak pula ma‘shûm (terpelihara dari berbuat maksiat) seperti halnya para nabi dan para rasul. Manusia adalah hamba Allah yang memiliki peluang untuk melakukan kesalahan dan menjadi tempat berkumpulnya banyak kekurangan. Pasangan kita (suami atau istri) pun demikian, memiliki banyak kekurangan. Karena itu, kadangkala apa yang dilakukan dan ditampakkan oleh pasangan kita tidak seperti gambaran ideal yang kita harapkan. Dalam kondisi demikian, maka sikap yang harus diambil adalah bersabar!
         Sabar adalah salah satu penampakan akhlak yang mulia, yaitu wujud ketaatan hamba terhadap perintah dan larangan Allah Swt. Sabar adalah bagian hukum syariat yang diperintahkan oleh Islam. (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 153; QS az-Zumar [39]: 10).
       Makna kesabaran yang dimaksudkan adalah kesabaran seorang Mukmin dalam rangka ketaatan kepada Allah; dalam menjalankan seluruh perintah-Nya; dalam upaya menjauhi seluruh larangan-Nya; serta dalam menghadapi ujian dan cobaan, termasuk pula saat kita dihadapkan pada 'kekurangan' pasangan (suami atau istri) kita.
          Namun demikian, kesabaran dalam menghadapi 'kekurangan' pasangan kita harus dicermati dulu faktanya. Pertama: Jika kekurangan itu berkaitan dengan kemaksiatan yang mengindikasikan adanya pelalaian terhadap kewajiban atau justru melanggar larangan Allah Swt. Dalam hal ini, wujud kesabaran kita adalah dengan menasihatinya secara makruf serta mengingatkannya untuk tidak melalaikan kewajibannya dan agar segera meninggalkan larangan-Nya. Contoh pada suami: suami tidak berlaku makruf kepada istrinya, tidak menghargai istrinya, bukannya memuji tetapi justru suka mencela, tidak menafkahi istri dan anak-anaknya, enggan melaksanakan shalat fardhu, enggan menuntut ilmu,  atau malas-malasan dalam berdakwah. Contoh pada istri: istri tidak taat pada suami, melalaikan pengasuhan anaknya, melalaikan tugasnya sebagai manajer rumahtangga (rabb al-bayt), sibuk berkarier, atau mengabaikan upaya menuntut ilmu dan aktivitas amar makruf nahi mungkar. Sabar dalam hal ini tidak cukup dengan berdiam diri saja atau nrimo dengan apa yang dilakukan oleh pasangan kita, tetapi harus ada upaya maksimal menasihatinya dan mendakwahinya. Satu hal yang tidak boleh dilupakan, kita senantiasa mendoakan pasangan kita  kepada Allah Swt.
           Kedua: Jika kekurangan itu berkaitan dengan hal-hal yang mubah maka hendaknya dikomunikasikan secara makruf di antara suami-istri. Contoh: suami tidak terlalu romantis bahkan cenderung cuwek; miskin akan pujian terhadap istri, padahal sang istri mengharapkan itu; istri kurang pandai menata rumah, walaupun sudah berusaha maksimal tetapi tetap saja kurang estetikanya, sementara sang suami adalah orang yang apik dan rapi; istri kurang bisa memasak walaupun dia sudah berupaya maksimal menghasilkan yang terbaik;  suami “cara bicaranya” kurang lembut dan cenderung bernada instruksi sehingga kerap menyinggung perasaan istri; istri tidak bisa berdandan untuk suami, model rambutnya kurang bagus, hasil cucian dan setrikaannya kurang rapi; dan sebagainya. Dalam hal ini kita dituntut bersabar untuk mengkomunikasikannya, memberikan masukan, serta mencari jalan keluar bersama pasangan kita. Jika upaya sudah maksimal tetapi belum juga ada perubahan, maka terimalah itu dengan lapang dada seraya terus mendoakannya kepada Allah Swt. (Lihat: QS an-Nisa' [4]: 19). Rasulullah saw. bersabda:

Janganlah seorang suami membenci istrinya. Jika dia tidak menyukai satu perangainya maka dia akan menyenangi perangainya yang lain. (HR Muslim).

Inilah tuntunan Islam yang harus dipahami oleh setiap Mukmin yang ingin rumahtangganya diliputi dengan kebahagiaan, cinta kasih, ketenteraman, dan langgeng. Wallâhu a‘lam bi ash-shawab.

Mencari Istri Saleha


Memilih Bakal Isteri Menurut Islam

Tahukah anda wahai insan bergelar wanita, betapa sukarnya pada masa ini untuk mencari seorang individu dari kalangan anda untuk dijadikan seorang isteri yang benar-benar solehah iaitu yang baik aspek agamanya. Lalu, sang lelaki kebanyakannya menghadapi kesukaran untuk membuat pilihan antara wanita yang kebanyakan atau harus terus menunggu dalam usaha pencarian wanita solehah sehingga memakan masa yang panjang. Kerana lamanya menunggu kelibat wanita solehah. Kemungkinan wanita solehah ini duduknya sememangnya sentiasa di rumah agaknya. Hakikatnya itulah yang terbaik sebenarnya.

Berikut adalah merupakan sedikit perkongsian yang telah saya selidiki dan perolehi daripada beberapa buah buku yang mana dengan harapan boleh dijadikan rujukan sama ada buat si pemuda atau perempuan umumnya.

Kepada si lelaki, mungkin tulisan ini mampu menjadi rujukan dalam usaha membuat penilaian terhadap karektor seorang wanita yang baik yang harus dipilihnya.

Manakala, bagi seorang perempuan, mungkin boleh dijadikan sebagai panduan untuk memperbaiki diri agar anda sentiasa tergolong dalam rangkaian dan barisan wanita yang solehah dan bakal dipilih oleh juga pemuda yang soleh. insyaALLAH.. .

Dalam persoalan ini, apabila seorang pemuda telah menemukan atau hendak menemukan seorang calon isteri yang dipandangnya sepadan dan berkenan di hati, hendaklah ia memeriksa sifat yang terpuji dan kriteria pegangan agama yang ada padanya. Janganlah kita hanya memfokuskan semata-mata kepada karektor duniawi, kekayaan, kecantikan dan kedudukan. Kerana di dalam suatu hadis Rasulullah s.a.w., seseorang wanita itu sebaiknya dipilih untuk dinikahi adalah kerana berdasarkan agamanya yang baik dan bukannya karena karektor selainnya.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., ia berkata: Rasulullah bersabda:

“Wanita dinikahi karena empat perkara; karena hartanya, karena kedudukannya/ keturunannya, karena kecantikannya dan keranan agamanya. Maka, pilihlah yang baik agamanya niscaya engkau beruntung.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari (3/242), Muslim (2/1086), Abu Dawud (2047), an—Nasaa’i (6/68) dan Ibnu Majah (1858))

Ini kerana, dengan karektor agama yang baik inilah sebenarnya ia mencakupi segala faktor-faktor yang lainnya. Dengan aspek agama yang baik ini, keindahan akhlaknya terserlah, kecantikannya terjaga dan terpelihara, malahan martabat dan kehormatannya berbanding wanita di kancah masyrakat kebanyakan juga tinggi nilainya.

Secara umumnya, mereka yang baik agamanya dan lebih taqwanya adalah mulia dan dipandang tinggi di sisi Allah s.w.t.

“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu...” (al-Hujuraat 49: 13)

Sahabat-sahabat yang saya sayangi, di sini ingin saya nyatakan bahawa faktor atau aspek kecantikan itu bukanlah tidak diperlukan. Tetapi yang ingin saya maksudkan adalah janganlah sehingga kita membataskan semata-mata keinginan kita kepada kecantikan, kerana ia bukanlah prinsip yang dianjurkan Rasulullah s.a.w. sendiri dalam persoalan pemilihan pasangan Isteri.

Dalam hal ini, Sheikh al-‘Azim Abad di dalam kitab ‘Annul Ma’buud Syarh Sunan Abi Daud, ada menyatakan bahawa yang sewajarnya dipilih adalah wanita yang baik agamanya dan memiliki adab yang baik agar kelak berupaya menjadi pertimbangan kepadanya dalam pelbagai urusan kehidupan, terutamanya dalam urusan rumahtangga. Oleh kerana itu, Nabi s.a.w. memerintahkan supaya mencari wanita beragama yang merupakan puncak kepada pencarian (keutamaan pilihan).

Dengan merujuk pula kepada firman Allah s.w.t. berikut:

“Maka wanita yang solehah, ialah yang ta’at kepada Allah lagi memelihara dirinya (kehormatannya) ketika suaminya tiada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)." (Surah an-Nisaa’ 4: 34)

Sufyan ats-Tsauri berkata (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam Tafsirnya (5/38) dengan sanad yang shahih): Kalimah “Qaanitaat” membawa maksud wanita yang taat kepada Allah dan kepada suaminya.”

Nabi pernah ditanya tentang sebaik-baik wanita, yang mana Baginda bersabda:

“Iaitu yang taat apabila diperintah, yang menyenangkan apabila dipandang serta menjaga diri dan harta suaminya.” (Hadits bertaraf sahih, diriwayatkan oleh imam Ahmad (4/341))

Bertepatan dari anjuran hadis Rasulullah ini, maka keutamaan kita dalam memilih calun isteri adalah menjurus kepada wanita yang baik urusannya dalam menjaga kehormatan dirinya dan harta suaminya, sama ada ketika berada di sisi suami, keluarga ataupun di ketika waktu ketiadaan suaminya, secara zahir dan batin yang didasari hati yang bersih serta suci lantaran kesan pegangan agamanya.

Dari kalangan tabi’in, Qatadah bin Di’aamah As-Saduusi pula berkata: “(Wanita yang septutnya menjadi pilihan) Adalah yang menjaga apa-apa yang telah Allah serahkan agar dijaga dari hak-hak suaminya. Menjaga dirinya saat suaminya tidak berada di sisinya.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir (5/39) dengan sanad yang shahih)

Telah disebutkan di atas tentang sifat sebaik-baik wanita iaitu,

“Serta menjaga diri dan harta suaminya.”

Abdullah bin Amru r.a. berkata: “Mahukah kalian aku beritahu tentang tiga jenis manusia yang celaka:

(iaitu) Imam yang zalim, bila engkau berbuat baik kepadanya ia tidak berterima kasih, jika engkau berbuat salah kepadanya ia tidak memaafkan. Tetangga/jiran yang jahat, jika ia melihat kebaikan padamu ia tutup-tutupi, jika melihat keburukan padamu ia menyebarkannya. Isteri yang buruk tabiatnya, jika engkau berada di sisinya ia membuatmu gusar/tidak senang. Dan bila engkau tidak berada di sisinya ia berkhianat.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam kitab Al-Mushannaf (3/559) dengan sanad yang shahih)

Seterusnya, carilah wanita yang memiliki sifat-sifat yang penyayang. Semua ini mampu memberi infect atau kesan yang baik kepada anak-anak kelak serta kepada hati suami yang utamanya. Dalam hal ini,

Nabi s.a.w bersabda: “Nikahilah oleh kalian wanita yang penyayang lagi subur, kerana aku akan berbangga dengan jumlah kalian yang banyak di hadapan umat-umat lain pada hari Kiamat.” (Hadis Sahih, diriwayatkan oleh al-Khathib al-Baghdaadi dalam Tarikh Baghdad (12/377))

“Sebaik-baik wanita yang menunggang unta adalah wanita-wanita yang solehah dari suku Quraisy, mereka adalah wanita yang paling sayang kepada anak-anak sewaktu masih kecil dan yang paling menjaga hak dan harta suami.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhaari (3/240))

Begitulah sebagaimana yang dinyatakan oleh Baginda Rasulullah s.a.w. sendiri perihal keutamaan sikap penyayang pada seorang wanita. Dengan sifat inilah, anak-anak nantinya mampu dididik dengan baik dan penuh perhatian serta kasih sayang seorang ibu. Di sana, peranan ibu adalah suatu keutamaan yang besar sebagai pendidik awal setiap anak-anak yang dilahirkan di dalam sesebuah institusi kekeluargaan. Dari sinilah bermulanya jati diri anak-anak dibentuk untuk menjadi manusia yang baik di masa hadapan. Dengan gabungan faktor kesolehan seorang wanita yang di-adun dengan sikap amanah, berilmu dan kasih sayang seorang wanita, sudah pasti sesebuah rumahtangga mampu menjadi suatu medan atau institusi yang berkesan dalam melahirkan masyarakat yang islamic dan berdaya maju dari konteks tauhid, ubbudiyyah, mu’amalah, dan material.

Dari sifat yang penyayang juga, ia berupaya melahirkan sikap yang menyenangkan. Dan kriteria ini jugalah yang dititikberatkan oleh Rasulullah s.a.w. sebagaimana dalam hadisnya tadi, iaitu

“...yang menyenangkan apabila dipandang...”

Peribadi wanita yang bersifat menyenangkan ini apabila dipandang dan bergaul dengannya mampu menjadi penenang dan penunduk hati suami dan keluarga dalam pelbagai urusan rumahtangga. Sifatnya yang elok dipandang mampu mengawal hati suami dan kelak kepada anak-anak untuk sentiasa berperasaan suka dan mendamaikan suasana. Lantas melahirkan satu persekitaran yang harmoni di dalam sesebuah kekeluargaan.

Di samping sifat penyayang dan peribadi yang menyenangkan, faktor untuk mencari wanita yang mampu melahirkan anak yang baik atau faktor kesuburan juga adalah merupakan salah satu kriteria yang dititikberatkan oleh Rasulullah s.a.w. sendiri.

“Nikahilah oleh kalian wanita yang penyayang lagi subur...”

Dari sudut ini, kelangsungan hidup manusia dan generasi soleh/solehah akan dapat diteruskan melalui kelahiran zuriat-zuriat yang baik. Lantas, dari zuriat yang soleh/solehah (muslim ini) ia berupaya untuk menjaga aspek keturunan dari generasi ke generasi untuk membentuk masyarakat yang menegakkan syari’at Allah, meninggikan agama, memakmurkan alam semesta, dan memperbaiki kehidupan di muka bumi. (Rujuk: Menjaga Kehormatan Muslimah, sheikh Bakr Abdullah Abu Zaid, Daar an-Naba', m/s. 150-151)

Dari sini juga, kita dapat melihat betapa besarnya peranan wanita kepada ummah dan masyarakat sejagat dalam membina ketamadunan dunia. Wanita sebenarnya adalah merupakan akar umbi dan tonggak kepada pelbagai kejayaan generasi manusia.

Jika dilihat kepada sirah di zaman nabi dan para sahabat. Ibu-ibu yang tempatnya di rumah yang mana kefahaman agamanya baik-baik, merupakan faktor yang yang menjadi tonggak kejayaan masyarakat pada zaman itu. Dari didikan seorang wanita yang solehah, lahirnya ramai sekali panglima-panglima perang yang gagah perkasa dan bijaksana dalam mengatur pelbagai strategi ketenteraan. Malah, mampu membina generasi yang handal di medan tempur dan melahirkan para syuhada yang ikhlas dan tulus perjuangannya kepada agama Allah. Dengan didikan para ibulah, lahirnya ramai golongan ulama atau ilmuan tersohor yang sentiasa disebut-sebut namanya sehingga kini.

“Dan para wanita itu mempunyai hak yang seimbang seperti kewajiban yang ditanggung oleh mereka (terhadap suami) dengan cara yang ma’aruf (dan tidak dilarang oleh syara’); Dalam pada itu orang-orang lelaki (suami-suami itu) mempunyai satu darjat kelebihan atas orang-orang perempuan (isterinya). Dan (ingatlah), Allah Maha Kuasa, lagi Maha Bijaksana.” (al-Baqarah 2: 228)

Dari sini juga kita dapat melihat bagaimana terjalinnya hubungan antara kelebihan kaum wanita dengan kekuatan kaum lelaki sehingga keduanya akan saling melengkapi dengan masing-masing diberikan keistimewaan, keutamaan, dan tanggungjawab masing-masing.

“Dan (ingatlah), Allah Maha Kuasa, lagi Maha Bijaksana.” (al-Baqarah 2: 228)

Anjuran Rasulullah s.a.w. yang seterusnya adalah difokuskan kepada gadis-gadis yang perawan/dara iaitu yang masih belum pernah berkahwin;

Ini adalah berdasarkan hadis Jabir bin Abdillah, ia berkata: “Aku baru saja menikah.

Lalu Rasulullah bertanya: “Dengan siapa engkau menikah?”

“Dengan seorang janda.” Jawabku.

Rasulullah s.a.w bersabda: “Mengapa tidak dengan seorang gadis yang boleh engkau dapat bermain-main dengannya dan dia pun dapat bermain-main denganmu.”

Atau dalam riwayat yang lain beliau mengatakan: “Yang ia boleh membuatmu tertawa gembira dan engkau boleh membuatnya tertawa gembira.” (Hadis Riwayat Bukhari (111/240) & Muslim (11/1078))

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata, di dalam Syarah Sahih Muslim (10/294): “Hadits ini menjelaskan tentang kelebihan menikahi gadis perawan/dara, dan menunjukkan bahawasanya menurut keutamaan menikahi mereka adalah lebih baik.”

Dalam hadis yang lain, Rasulullah s.a.w., beliau bersabda: “Nikahlah dengan gadis perawan, kerana mereka itu lebih manis bibirnya, lebih subur rahimnya, dan lebih redha dengan yang sedikit.” (Hadis Riwayat Ibnu Majah, (no. 1861) di dalam kitab an-Nikah)

Dalam persoalan ini, dapat dibezakan di antara wanita yang janda dengan yang gadis kerana mungkin sahaja wanita yang janda ini sudah memiliki anak yang perlu dijagai dan memerlukan lebih perhatian kepada anaknya. Selain itu, mungkin juga dia sudah beberapa kali hamil dan akan memiliki kebarangkalian keletihan untuk hamil lagi dan memiliki hasrat untuk tidak mahu memiliki anak lagi. Mungkin juga ia mampu mengganggu hubungan seksual suami dan isteri kerana kebiasaannya wanita yang berstatus janda tidak cukup dengan hubungan/layanan yang sedikit. Berbeza dengan gadis yang masih belum pernah berkahwin, ia lebih mudah terangsang dan redha dengan layanan yang sedikit. (Rujuk: Indahnya Menikah ‘Ala Sunnah Nabi, Amru Abdul Mun’im Salim, Daar an-Naba’, m/s. 52)

Akhir sekali, suatu yang perlu di-ambil perhatian. Bahawasanya Allah dan Rasul-Nya melarang lelaki ataupun sebaliknya untuk menikahi atau mengahwini pasangan yang terdiri dari kalangan penzina. Tetapi pilihlah wanita yang mulia, suci dan terjaga kehormatannya sebagaimana yang dinyatakan di awal tulisan ini tadi,

“...yang ta’at kepada Allah lagi memelihara dirinya (kehormatannya) .” (an-Nisa’ 4: 34)

Persoalan ini juga dijelaskan oleh Allah s.w.t. sebagaimana di dalam firman-Nya yang berikut:

“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.” (an-Nuur 24: 3)

Dalam suatu riwayat, sebelum turunnya ayat ini seorang sahabat bernama Abu Martsad al-Ghanawi r.a. datang menemui Rasulullah s.a.w. meminta restu/keizinan untuk menikahi seorang wanita pelacur yang dahulunya semasa jahiliyyah adalah bekas kekasihnya (wanita itu bernama ‘Anaq). Dan sehinggalah turunnya ayat di atas (Surah an-Nuur 24: 3) Rasulullah s.a.w. menjelaskan “Jangan dinikahi wanita itu!” (Diriwayatkan oleh imam yang empat kecuali Ibnu Majah)

Ini antaranya adalah kerana wanita penzina dan pelacur itu boleh mengganggu urusan kebahagian sesebuah rumahtangga dan institusi kekeluargaan pasangan suami isteri. Malah status pelacur/penzina ini sendiri menurut Ibnu Umar r.a. adalah merupakan antara manusia yang celaka sebagaimana riwayat ini (telah dijelaskan di awal tulisan), “wanita yang apabila engkau tidak berada di sisinya ia berkhianat.”

Manakala menurut Hasan al-Basri rahimahullah; “Tidaklah halal dinikahi wanita penzina dan wanita simpanan.” (Diriwayatkan oleh Sa’id bin Mashur dalam as-Sunan (5/8) dengan sanad yang sahih)

Adapun begitu, andainya dia (wanita yang awalnya seorang penzina) merupakan dari kalangan wanita yang sudah bertaubat dan sudah meninggalkan perbuatan pelacuran, maka keharaman itu terhilang dan termansuh sebagaimana menurut Abdullah bin Abbas r.a.: “Awalnya zina akhirnya nikah, awalnya haram akhirnya halal.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (3/529) dengan sanad yang sahih)

Dan daripada firman Allah s.w.t.:

"...kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (an-Nuur 24: 5)

Shilah bin Asyyam rahimahullah berkata: “Tidak mengapa menikah keduanya samaada wanita atau pemuda dengan penzina yang telah bertaubat kepada Allah. Allah lebih berhak menerima taubat keduanya. Jika keduanya adalah penzina dan belum bertaubat, maka lelaki yang buruk pasangannya juga adalah dengan wanita yang buruk pula. (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi syaibah (3/528) dengan sanad yang sahih)

Sebagai kesimpulan, membuat pilihan calon isteri bukanlah suatu perkara yang boleh dipandang remeh. Ia amat berat pada hakikatnya kerana ia bakal menjaga urusan dalam kekeluargaan yang diketuai oleh seorang lelaki bernama suami. Dan bakal menjadi pembimbing anak-anak atau zuriat yang kelak bakal dilahirkan. Kriteria-kriteria yang baik berserta kebijaksanaan dalam pelbagai bidang ilmu tertentu dan persoalan keagamaan perlu dilihat sebagai keutamaan supaya segala perjalanan kehidupan di masa mendatang bakal ter-urus dengan baik dan tersusun. Supaya kelak, kehidupan anda bersama keluarga bakal mengecapi suasana yang aman bahagia dan tenteram. Lantas mampu melahirkan masyrakat yang berhubungan dengan harmoni.

Antara ciri-ciri yang lain bagi calon isteri yang baik secara umum adalah seperti berilmu, sentiasa bersyukur, tahu menjaga hubungan yang baik dengan kaum keluarga kedua belah pihak, memiliki daya kepimpinan terhadap pengurusan rumahtangga dengan baik, memahami kehendak/keperluan suami, batas pergaulannya terjaga, dan sentiasa menjaga penampilan yang baik.

“Kebahagiaan manusia ada tiga: Wanita yang solehah, tempat tinggal yang baik, dan kenderaan yang baik. Sedangkan kesengsaraan manusia ialah: Wanita yang buruk (perangainya) , tempat tinggal yang buruk, dan kenderaan yang buruk.” (Hadis Riwayat Ahmad (1/168), dengan sanad yang sahih)

Dan mereka berkata (berdoa): "Wahai Tuhan kami, anugerahilah kepada kami isteri-iesteri kami dan zuriat keturunan kami sebagai penyenang hati kami, dan jadikanlah kami imam ikutan bagi orang-orang yang bertaqwa. (al-Furqan 25: 74)

Dan sebaik-baik wanita itu adalah mereka yang soleh dalam agamanya, sebagaimana hadis berikut:

“Dunia itu seluruhnya adalah perhiasan, sebaik-baik perhiasan dunia adalah isteri yang solehah.” (Hadis Riwayat Muslim, Kitab ar-Ridha)

Kiat menjadi Wanita Saleha



WANITA SALEHA

      Sungguh sangat beruntung bagi wanita shalihah di dunia ini. Ia akan menjadi cahaya bagi keluarganya dan berperan melahirkan generasi dambaan. Kalau pun ia wafat, maka Allah akan menjadikannya bidadari di akhirat nanti.
Oleh karena itu, para pemuda jangan sampai salah memilih pasangan hidup. Pilihlah wanita shalihah untuk dijadikan istri dan pendamping hidup setia.
Siti Khadijah r.a. adalah figur seorang istri shalihah yang menjadi penentram batin, pendukung setia, dan penguat semangat suami dalam berjuang dan beribadah kepada Allah SWT. Beliau telah berkorban dengan harta, kedudukan, dan diri beliau demi membela perjuangan Rasulullah Saw. Begitu kuatnya kesan keshalihahan Khadijah r.a., hingga nama beliau banyak disebut-sebut oleh Rasul walau beliau sendiri sudah meninggal.
Allah berfirman dalam QS. An Nuur ayat 30-31, Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara farji (kemaluan) - nya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara farji- nya dan janganlah mereka menampakkan perhiasan kecuali yang biasa nampak dari padanya.

Rasulullah Saw. bersabda : Dunia ini adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita shalihah. (HR. Muslim).
Ciri khas seorang wanita shalihah adalah ia mampu menjaga pandangannya. Ciri lainnya, dia senantiasa taat kepada Allah dan Rasul Nya. Make up- nya adalah basuhan air wudhu. Lipstiknya adalah memperbanyak dzikir kepada Allah di mana pun berada. Celak matanya adalah memperbanyak bacaan Al Quran. Jika seorang muslimah menghiasi dirinya dengan perilaku takwa, akan terpancar cahaya keshalihahan dari dirinya.


Wanita shalihah tidak mau kekayaan termahalnya berupa iman akan rontok. Dia juga sangat memperhatikan kualitas kata-katanya. Tidak ada dalam sejarahnya seorang wanita shalihah centil, suka jingkrak-jingkrak, dan menjerit-jerit saat mendapatkan sesuatu kesenangan. Ia akan sangat menjaga setiap tutur katanya agar bernilai bagaikan untaian intan yang penuh makna dan bermutu tinggi. Dia sadar betul bahwa kemuliaannya justru bersumber dari kemampuannya menjaga diri (iffah).

Wanita shalihah itu murah senyum, karena senyum sendiri adalah shadaqah. Namun, tentu saja senyumnya proporsional. Tidak setiap laki-laki yang dijumpainya diberikan senyuman manis. Intinya, senyumnya adalah senyum ibadah yang ikhlas dan tidak menimbulkan fitnah bagi orang lain. Bisa dibayangkan jika kaum wanita kerja keras berlatih senyum manis semata untuk meluluhkan hati laki-laki.

Wanita shalihah juga harus pintar dalam bergaul dengan siapapun. Dengan pergaulan itu ilmunya akan terus bertambah, sebab ia akan selalu mengambil hikmah dari orang-orang yang ia temui. Kedekatannya kepada Allah semakin baik sehingga hal itu berbuah kebaikan bagi dirinya maupun orang lain. Pendek kata, hubungan kemanusiaan dan taqarrub kepada Allah dilakukan dengan sebaik mungkin.

Ia juga selalu menjaga akhlaknya. Salah satu ciri bahwa imannya kuat adalah dari kemampuannya memelihara rasa malu. Dengan adanya rasa malu, segala tutur kata dan tindak tanduknya akan selalu terkontrol. Tidak akan ia berbuat sesuatu yang menyimpang dari bimbingan Al Quran dan As Sunnah. Dan tentu saja godaan setan bagi dirinya akan sangat kuat. Jika ia tidak mampu melawan godaan tersebut, maka bisa jadi kualitas imannya berkurang. Semakin kurang iman seseorang, maka makin kurang rasa malunya. Semakin kurang rasa malunya, maka makin buruk kualitas akhlaknya.

Pada prinsipnya, wanita shalihah itu adalah wanita yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Rambu-rambu kemuliaannya bukan dari beraneka aksesoris yang ia gunakan. Justru ia selalu menjaga kecantikan dirinya agar tidak menjadi fitnah bagi orang lain. Kecantikan satu saat bisa jadi anugerah yang bernilai . Tapi jika tidak hati-hati, kecantikan bisa jadi sumber masalah yang akan menyulitkan pemiliknya sendiri.

Saat mendapat keterbatasan fisik pada dirinya, wanita shalihah tidak akan pernah merasa kecewa dan sakit hati. Ia yakin bahwa kekecewaan adalah bagian dari sikap kufur nikmat. Dia tidak akan merasa minder dengan keterbatasannya. Pribadinya begitu indah sehingga make up apa pun yang dipakainya akan memancarkan cahaya kemuliaan. Bahkan, kalaupun ia polos tanpa make up sedikit pun, kecantikan jiwanya akan tetap terpancar dan menyejukan hati tiap-tiap orang di sekitarnya. Karena ia yakin betul bahwa Allah tidak akan pernah meleset memberikan karunia kepada hamba-Nya.
 Makin ia menjaga kehormatan diri dan keluarganya, maka Allah akan memberikan karunia terbaik baginya di dunia dan di akhirat.

Jika ingin menjadi wanita shalihah, maka banyak-banyaklah belajar dari lingkungan sekitar dan orang-orang yang kita temui. Ambil ilmunya dari mereka. Bahkan kita bisa mencontoh istri-istri Rasulullah Saw. Seperti Siti Aisyah yang terkenal dengan kecerdasannya dalam berbagai bidang ilmu. Ia terkenal dengan kekuatan pikirannya. Seorang istri seperti beliau adalah seorang istri yang bisa dijadikan gudang ilmu bagi suami dan anak-anak.

Bisa jadi wanita shalihah itu muncul dari sebab keturunan. Bila kita melihat seorang pelajar yang baik akhlaknya dan tutur katanya senantiasa sopan, maka dalam bayangan kita tergambar diri seorang ibu yang telah mendidik dan membimbing anaknya menjadi manusia yang berakhlak. Sulit membayangkan, seorang wanita shalihah ujug-ujug muncul tanpa didahului sebuah proses yang memakan waktu. Disini faktor keturunan memainkan peran. Begitu pun dengan pola pendidikan, lingkungan, keteladanan dan lain-lain. Apa yang nampak, bisa menjadi gambaran bagi sesuatu yang tersembunyi.

Banyak wanita bisa sukses. Namun tidak semua bisa shalihah. Shalihah atau tidaknya seorang wanita bergantung ketaatannya pada aturan-aturan yang Allah pimpinkan. Dan aturan-aturan tersebut berlaku universal, bukan saja berlaku bagi wanita yang sudah menikah, tapi juga bagi remaja putri yang berumah tangga. Tidak akan rugi jika seorang remaja putri menjaga sikapnya saat mereka berinteraksi dengan lawan jenis yang bukan mahramnya. Bertemanlah dengan orang-orang yang akan menambah kualitas ilmu, amal dan ibadah kita. Ada sebuah ungkapan mengatakan, Jika kita ingin mengenal pribadi seseorang maka lihatlah teman-teman di sekelilingnya. Usahakanlah kita mampu memberikan warna yang baik bagi orang lain, bukan sebaliknya malah kita yang diwarnai oleh pengaruh buruk orang lain.

Jika para wanita muda mampu menjaga diri dan memelihara akhlaknya, maka iman kaum laki-laki akan semakin kuat. Cahaya keshalihahan wanita mukminah akan menjadi penyejuk sekaligus peneguh hati orang-orang beriman. Apalagi bagi kaum muda yang sangat rentan dari godaan syahwat. Mereka harus dibantu dalam melawan godaan-godaan.

Peran wanita shalihah sangat besar dalam keluarga dan bahkan negara. Kita pernah mendengar, bahwa di belakang seorang pemimpin yang sukses ada seorang wanita yang sangat hebat. Jika wanita shalihah ada di belakang para lelaki di dunia ini, maka bisa dibayangkan, berapa banyak kesuksesan yang akan diraih. Selama ini wanita hanya ditempatkan sebagai pelengkap saja, yaitu hanya mendukung dari belakang, tanpa peran tertentu yang serius. Dalam sebuah keterangan diyatakan bahwa bejatnya akhlak wanita bisa menyebabkan hancurnya sebuah negara. Bukankah wanita itu adalah negara? Bayangkanlah, jika tiang-tiang penopang bangunan itu rapuh, maka sudah pasti bangunannya akan roboh dan rata dengan tanah, sehingga tidak akan ada lagi yang tersisa kecuali puing-puing yang nilainya tidak seberapa.

Jadi kita tinggal memilih, apakah akan menjadi tiang yang kuat atau tiang yang rapuh? Jika ingin menjadi tiang yang kuat, kaum wanita harus terus berusaha menjadi wanita shalihah dengan mencontoh pribadi istri-istri Rasulullah. Dengan terus berusaha menjaga kehormatan diri dan keluarga serta memelihara farji-nya, maka pesona wanita shalihah akan melekat pada diri kaum wanita kita.